Dr. Salahudin Gaffar, SH., MH (Associate Professor Universitas Islam Asyafi'iyah Jakarta)
 

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memainkan peran krusial dalam memecahkan berbagai permasalahan kompleks di tengah kehidupan manusia. Berbagai kasus yang dulunya menemui jalan buntu karena keterbatasan metode konvensional kini dapat diurai melalui pendekatan ilmiah berbasis teknologi. Misalnya, penyebab kegagalan produksi industri dapat segera diketahui, atau identitas korban kejahatan yang telah terjadi berabad lalu kini bisa diungkap, termasuk penyebab kematiannya.

Dalam konteks tersebut, masyarakat kini menyoroti kembali polemik lama mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo (2014-2024). Isu ini telah berkembang melampaui perdebatan administratif, bahkan merambah ke ranah hukum dan politik, menjelma menjadi bentuk konflik yang semakin rumit. Model penyelesaian damai seperti yang ditawarkan oleh Nelson Mandela tampaknya sulit diterapkan, mengingat situasinya bukan antara pihak yang pernah berseteru, tetapi antara seorang pemimpin dan rakyatnya sendiri.

Kesulitan dalam merumuskan solusi dari polemik ini tampaknya terletak pada fakta bahwa isu ijazah itu sendiri hanya berfungsi sebagai pintu masuk menuju penyelidikan atas dugaan permasalahan yang lebih luas dan sistemik. Masyarakat luas berspekulasi bahwa ada sesuatu yang besar yang ingin ditutupi di balik kasus ini—dugaan keterlibatan dalam pelanggaran serius selama masa pemerintahan yang saling terkait satu sama lain.

Untuk menjernihkan situasi, diperlukan pendekatan berbasis data dan metode hukum yang sah. Namun, dalam praktiknya, sebagian masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami aspek teknis hukum, sementara sebagian lainnya dengan mudah dapat memetakan logika kasus berdasarkan fakta yang tersedia. Jika kita menguraikan bukti-bukti yang berserakan melalui kacamata hukum materil, maka akan tampak pola yang cukup jelas.

Ijazah Jokowi: Pemalsuan atau Dipalsukan?

Karena isu ini telah memasuki ranah hukum, maka prosedur pembuktian harus mengikuti hukum acara yang berlaku di Indonesia, baik dalam lingkup perdata, administrasi negara, maupun pidana. Dalam hukum pidana, prinsip utama yang dijunjung adalah pencarian kebenaran materil, yakni kebenaran substantif di balik suatu peristiwa hukum. Proses terbitnya suatu dokumen akan ditelusuri dengan cermat, dan bila ditemukan hubungan sebab-akibat, maka analisis dapat mengungkap tindakan pidananya.

Berbeda dengan pendekatan dalam hukum administrasi dan perdata, yang cenderung pasif. Di pengadilan administrasi, dokumen sering kali diterima sebagaimana adanya, meskipun kemungkinan telah dipalsukan. Namun demikian, baik hukum perdata maupun pidana pada akhirnya bertujuan pada penegakan keadilan.

Dalam kasus ini, logika umum publik telah mengarah pada kesimpulan bahwa ada kejanggalan serius terkait ijazah Presiden. Berdasarkan Pasal 263 KUHP, terdapat dua kategori yang perlu dibedakan: memalsukan surat dan menggunakan surat palsu, masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Misalnya, jika seseorang membuat sertifikat atas nama dirinya atas tanah yang tidak ia miliki, maka ia membuat dokumen palsu. Namun, jika ia menggunakan data orang lain untuk menerbitkan sertifikat baru, maka ia telah memalsukan dokumen.

Menggunakan pendekatan kerja investigatif, masyarakat mulai menyimpulkan bahwa dokumen ijazah Presiden bermasalah. Bukti awal justru berasal dari tindakan Presiden sendiri, yakni pelaporan polisi terhadap pihak-pihak yang menuduhnya. Dalam proses itu, ijazah yang dipermasalahkan justru diserahkan sebagai fotokopi, bukan dokumen asli.

Blunder selanjutnya muncul ketika Presiden menyebutkan nama dosen pembimbing skripsinya, yang kemudian dibantah oleh sejumlah akademisi. Informasi lain seperti perubahan gelar, inkonsistensi data sekolah hingga nomor ijazah, telah tersebar di berbagai platform digital. Fakta-fakta ini semakin memperkuat persepsi publik bahwa proses administratif ijazah tersebut menyimpan banyak kejanggalan.

Kajian Psikologis: Dimensi Machiavelisme dalam Kepemimpinan

Dalam beberapa wawancara, Presiden mengaku merasa direndahkan oleh isu ini dan menyebut adanya agenda besar di balik tudingan terhadap dirinya. Tanggapan ini menimbulkan dugaan bahwa ia sedang mencoba membentuk opini publik sebagai bentuk pertahanan psikologis atas krisis legitimasi yang tengah dihadapi.

Secara psikologis, watak kepemimpinan yang ditampilkan Jokowi kerap diasosiasikan dengan konsep Machiavellianism, sebagaimana dipopulerkan oleh Richard Christie dan Florence Geis. Sifat ini dicirikan oleh perilaku manipulatif, pengabaian terhadap nilai moral, rendahnya empati, dan orientasi kepentingan pribadi atau keluarga. Beberapa pernyataan Presiden bahkan dianggap mengkonfirmasi kecenderungan tersebut.

Kontroversi ini diperkuat dengan munculnya kembali buku Jokowi Undercover karya Bambang Tri, yang membahas asal-usul Presiden dan polemik identitas keluarganya. Salah satu momen krusial yang disebut dalam buku tersebut adalah saat akad nikah adik Presiden, Idayati, yang menyebut ayahnya bernama Notomiharjo. Nama tersebut menjadi sorotan karena dianggap bertentangan dengan narasi identitas keluarga Jokowi yang selama ini berkembang di ruang publik.

Ledakan informasi lainnya terjadi dalam peristiwa reuni yang diduga direkayasa dan melibatkan sejumlah "aktor dadakan", yang memperlihatkan adanya upaya rekayasa narasi sejarah. Kejadian-kejadian ini, menurut sebagian kalangan, memperkuat dugaan bahwa ada proyek besar untuk menutupi sejarah personal Presiden yang dianggap tidak selaras dengan pencitraan publiknya.

Implikasi Politik: Stabilitas atau Pembungkaman?

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan politik nasional. Sebagian publik mulai mempertanyakan peran tokoh-tokoh strategis, termasuk Prabowo Subianto, yang kini menjadi bagian dari pemerintahan. Sebagai tokoh militer sekaligus politisi senior, Prabowo diyakini memahami secara utuh lanskap kekuasaan saat ini. Namun demi alasan stabilitas, ia tampaknya memilih untuk tidak bersikap konfrontatif sebagaimana yang pernah dijanjikannya di masa kampanye.

Muncul dugaan bahwa telah terjadi rekonsiliasi politik tertutup, semacam kesepakatan saling pengertian antar elite, dengan kekuasaan sebagai alat tukar utama. Kekhawatiran sebagian tokoh nasional, khususnya dari kalangan purnawirawan TNI, menjadi relevan dalam konteks ini. Mereka mencemaskan potensi infiltrasi ideologi tertentu (seperti neo-komunisme atau Machiavelisme) yang menurut mereka menjadikan figur Presiden sebagai pintu masuk strategis.

Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arif Hidayat, Hakim Konstitusi, konsentrasi kekuasaan yang luar biasa di bawah satu kendali saat ini belum pernah terjadi dalam sejarah Orde Lama maupun Orde Baru. Hal ini menjadi indikasi adanya desain besar untuk mengkonsolidasikan kekuasaan lintas lembaga negara.

Jalan Panjang Menuju Kebenaran

Oleh karena itu, bagi siapa pun yang kini sedang menelusuri aspek legal dan sejarah dari persoalan ijazah Presiden, perjuangan tersebut dapat membawa hasil yang lebih luas. Bukan hanya dalam mengungkap keabsahan dokumen, tetapi juga dalam membongkar "DNA politik" yang melatarbelakangi kekuasaan itu sendiri. Di sanalah masa depan NKRI dipertaruhkan.

Karena itu, semoga para tokoh bangsa, termasuk Prabowo Subianto dan mereka yang setia pada cita-cita kemerdekaan, tetap sehat dan konsisten menjaga amanat konstitusi. Harapan akhirnya tetap sama: semoga Indonesia tetap tegak sebagai negara hukum yang berdaulat dan berkeadilan.