Dr. Salahudin Gaffar, SH., MH (Associate Professor Universitas Islam Asyafi'iyah Jakarta)
 

PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan dan teknologi berkontribusi besar dalam memecahkan kerumitan masalah umat manusia pada banyak sektor kehidupan. Penelusuran kasus yang mengalami kebuntuan pada masa lalu yang masih menggunakan sistem konvensional telah terpecahkan berkat kecanggihan teknologi.

Menelusuri sebab-sebab terjadinya kegagalan produksi yang tidak sesuai dengan standar dunia industri dengan mudah dipecahkan. Identitas seseorang korban kejahatan yang telah lama terjadi dapat diungkap bahkan sebab kematiannya telah berabad-abad dapat dijelaskan.

Publik, khususnya awam bertanya, kemana arah solusi atas polemik dugaan pemalsuan ijazah oleh Jokowi dan pihak terkait? Kehebohan ijazah Jokowi ini lebih dari sekadar polemik, tapi telah masuk ranah sengketa, semakin kompleks. Menerapkan rekonsiliasi ala Mandela rasanya tidak mungkin. Karena Jokowi bukan pahlawan, justru sedang berhadapan dengan rakyat, bukan saja lawan politiknya.

Mengapa sulit menemukan formulasi solusi? Tampaknya persoalan ijazah itu hanya ranah administratif berikut implikasi hukumnya dan menjadi motif untuk masuk pada pintu tujuan lain yakni membuka misteri "permasalahan besar" lainnya.

Publik berspekulasi, pantas saja Jokowi dengan sekuat tenaga menghindari rangkaian proses pengungkapan fakta sesungguhnya. Publik juga menduga kuat ada hal besar dibalik isu ijazah yakni "jejak-jejak kejahatan besar dan kolektif terkait satu sama lain" selama Jokowi menjabat presiden.

Hal-ihwal itu membutuhkan analisis berbasis data, agar tidak terjadi asumsi liar. Namun untuk sampai pada fakta hukum bagi sebagian orang rumit memahaminya, bagi sebagian lain mudah. Bahkan sangat mudah. Apabila kita mencoba menyusun puzzle fakta yang berserakan berdasarkan logika hukum materil maka kita dapat mengerti beberapa alasan logis.

Ijazah Jokowi palsu?

Untuk membuktikan ijazah Jokowi (karena telah memasuki ranah hukum) maka penggunaan metodologi pembuktian harus merujuk "hukum acara pembuktian" sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.  Baik secara keperdataan, adminstrasi (tata usaha negara), maupun pidana,  sebenarnya sangat mudah dan sangat sederhana.

Hukum pidana berpegang pada prinsip pokok bahwa kebenaran materil adalah sasaran akhir.

Bagaimana proses terjadinya/terbitnya sebuah dokumen akan ditelusuri dengan teliti. Dari sini bagi penyidik pemula pun sangat mudah melakukannya. Lalu prinsip sebab akibat itu mudah disimpulkan melalui analisis anatomy of crime.

Berbeda dengan hukum adminstrasi negara dan perdata "bersifat pasif" dalam pembuktian.  Sebuah dokumen akan diakui apa adanya di depan persidangan (majelis hakim) walaupun hasil proses pemalsuan atau dipalsukan. Namun demikian baik hukum perdata maupun hukum pidana tentu esensinya adalah penegakan keadilan.

Secara logika umum saja sudah lebih dari cukup bagi publik mengetahui bahwa ijazah Jokowi itu bermasalah. Hukum pidana menyebutkan sebagai pemalsuan. Bukan dipalsukan.

Dua unsur yang berbeda prosesnya diatur di dalam pasal 263 KUHP (lama) mengkualifikasikan bahwa terdapat unsur-unsur pidana yang berbeda antara pemalsuan dan dipalsukan dilihat dari proses terjadinya peristiwa hukum pidana.

* Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

* Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Jika ada seseorang mengklaim memiliki sebidang tanah melalui dokumen (sertifikat tanah). Namun sertifikat tersebut hasil dari mengambil data indentitas tanah (sertifikat) orang lain lalu dari data itu dibuat sertifikat "baru" dengan identitasnya. Itu disebut sertifikat yang telah dipalsukan. Sertifikatnya memang ada dan asli tetapi pemilik baru yang memalsukannya.

Namun jika seseorang membuat sertifikat tanah. Sementara dia tidak pernah memilki tanah lalu membuat sertifikat dengan identitas dirinya seolah asli maka hukum pidana kita mengkualifikasikannya sebagai membuat dokumen palsu [R. Soesilo dalam bukunya KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal]

Menggunakan alur konstruksi kerja penyidik maka kasus yang sedang dihadapi Jokowi, publik dengan mudah menyimpulkan ijazah Jokowi itu pasti palsu. Prosesnya melalui proses  dipalsukan. Siapa yang memasukkan saya berkeyakinan bukan dilakukan oleh Jokowi.

Terlalu banyak entri point untuk menuju proses pembuktiannya.

Pertama gara-gara lugunya Jokowi. Dia yang membuka sendiri. Dari mana? Dia membuat laporan polisi atas dugaan tindak pidana oleh Rismon dan kawan-kawan. Paska Laporan Polisi tersebut dibuat polisi membuat konferensi pers. "Laporan Polisi telah dibuat oleh terlapor dengan menyerahkan foto copy ijazah."

Kedua, blunder terjadi, dan dilakukan oleh Jokowi, dia menyebut para pembimbing skripsi. Lalu para mantan akademisi membantah. Corong Jokowi di UGM dicekoki jabatan. Foto pada ijazah, nomor ijazah, skripsi, dan data lain yang beredar di berbagai kanal dan platform medsos. Misalnya merunut deret waktu Jokowi masuk SD hingga lulus kuliah, gelar akademis yang berubah-ubah sudah lebih dari cukup bagi penyidik bahwa secara materil dapat merumuskan para pelaku yang terlibat dan siapa saja sebagai pihak turut serta.

Dari beberapa fakta materil yang banyak beredar tersebut sejarah kelak akan mencatat bahwa jejak gelap ijazah Jokowi itu merujuk pada fakta, bukan hoax. Jokowi berada dalam ruang gelap akademik. Maka tidak mungkin memiliki ijazah.

Psikologi Makiavelisme

Statement Jokowi di beberapa wawancara antara lain mengatakan: merasa dihinakan. Setelah itu menyatakan bahwa ada agenda besar dibalik isu ijazah. Pengadilan opini publik sedang bekerja atas ulahnya selama ini.

Secara kepribadian, watak manipulatif Jokowi seperti melaksanakan paham Makiavelisme atau Makiavelianisme dalam teori Psikolog Richard Christie dan Florence Geis. Makiavelisme Jokowi tecermin dalam kepribadian yang penuh manipulasi antarpribadi, cuek terhadap moralitas, minus empati, dan fokus pada kepentingan diri sendiri dan keluarga.

Pernyataan Jokowi seolah merespon fakta yang dilempar ke ranah publik oleh wartawan senior bernama Bambang Tri melalui risetnya dalam buku Jokowi Undercover 1 dan 2.

Buku itu gamblang mengungkap jejak gelap DNA politik Jokowi dibalik jejak gelap ijazah. Satu hal yang tidak bisa ditutupi kelak seperti bom yang meledak dan diliput secara live oleh media nasional.

Ledakan pertama terjadi saat akad nikah Idayati dengan Anwar Usman. Secara gamblang membuka "silsilah" keluarga Jokowi. 

"Saya nikahkan dan jodohkan adik saya Idayati binti Notomiharjo." Ketika muncul nama Notomiharjo maka sejarah muncul sebagai alat validasi. Ayah Idayati adalah Notomiharjo sekaligus ayah Jokowi alias kakek Gibran. Sekaligus membantah identitas ayah dan ibu Jokowi yang selama ini telah beredar luas.

Demikian puzzle sejarah itu dirunut oleh Bambang Tri melalui laporan investigasi dan dimuat di dalam buku Jokowi Undercover.

Ledakan lain muncul melalui acara reuni yang dituding bayaran oleh netizen beberapa orang hadir merupakan aktor dadakan yang berperan pada acara reuni tetapi tidak disutradarai dengan baik. Bak bencana lumpur Lapindo semakin disumpel suara kebenaran dan keadilan itu semakin luber dan nyaring.

Lalu sampai kapan akan berakhir? Kata kuncinya adalah sampai para pemburu kekuasaan itu mengerti makna kalimat: NKRI harga mati itu dipahami dari perspektif dan sejarah dan perintah konstitusi. Bukan jargon kamuflase.

"Bangsa ini sedang tidak baik baik saja. Belum pernah terjadi selama masa orde lama, orde baru,  kekuatan politik berpusat pada satu kendali oleh segilintir orang untuk semua lini eksekutif, legislatif, yudikatif, media seperti saat ini" (Prof. Arif Hidayat, Hakim Mahkamah Konstitusi).

Publik yang waras nuraninya, tentara yang masih tulen merah putihnya untuk NKRI walaupun mereka telah sepuh, sedang mencermati sebuah tanda-tanda grand design bahwa Indonesia diduga sedang disusupi kekuatan tertentu (neo-komunis plus makiavelisme) dan pintunya melalui ikon Jokowi. Mayjend (Purn) Syamsul Djalal terang-terangan menunjuk hidung Jokowi dan orang-orang di belakangnya.

Jadi bagi siapapun sedang berjuang menelusuri jejak "forensik" ijazah, teruslah berjuang karena hasil besarnya mungkin kalian akan menemukan hal paling penting yakni genetika politik Jokowi karena disana masa depan NKRI dipertaruhkan melalui kekuasaan selanjutnya.

Dimana posisi Prabowo Subianto?

Sebagai jenderal-intelektual yang paham strategi, Probowo Subianto dan orang-orangnya telah mendeteksi, sekaligus telah mengetahui semuanya. Namun karena alasan "stabilitas kekuasaan" membuatnya berat melakukan sikap mbalelo seperti janji kampanyenya. Siap mati demi bangsa dan negara.

Publik menduga rekonsiliasi politik tertutup sedang berlangsung atas nama kemaslahatan bangsa. Tepatnya saling maklum atas "aib" dan kekurangan masing-masing. Alat bargaining paling bernilai tentu kekuasaan.

Hanya saja kekhawatiran para purnawirawan itu logis. Lahir dari kekhawatiran di tengah usia Prabowo Subianto sudah mulai senja dan prosesi persekusi konstitusi untuk melanggengkan Gibran menjadi wapres. Semoga Prabowo Subianto dan para pecinta NKRI sehat selalu. Semoga NKRI baik-baik saja.